Welcome to my blog..... Thank's to visit...! Jangan lupa? tinggalkan komentar anda...

Senin, 07 Juni 2010

JAMBORE... Pengalaman yang tak mungkin terlupakan...

Berangkat dari segala keterbatasan.. kucoba beranikan diri dan tegarkan langkah coba berikan yang terbaik dalam sebuah tanggung jawab besar sebagai seorang pelayan masyarakat di Pendidikan Non Formal.. tuk ikut andil dalam Jambore ptk pnf tingkat provinsi yang diadakan di Semarang tepatnya di Gedung P2PNFI Ungaran..
Baru pertama... Hati terasa terpana terkagum dengan kemegahan sebuah lembaga p2pnfi yang mempunyai peran penting di bidang pendidikan (PNF). rasa bangga yang tak bisa terungkap... ternyata begitu besar pemerintah memberikan apresiasi, penghargaan terhadap keberadaan lembaga-lembaga atau apapun yang memberikan kontribusi sebagai pelayan masyakat di bidang PNF.
yang semula anggapan diri ini yang merasa PNF adalah pendidikan yang teranak tirikan, terabaikan.. ternyata melihat kenyataan yang ada.. hati begitu berbesar hati ataupun bisa berbangga diri.. disini kubisa berikan partisipasi, berikan peran, berikan arti pada diri ini tuk niat abdikan diri di bidang pendidikan.. pnf..
Dengan Jambore kita wujudkan pendidik yang profesional dan berprestasi...
begitulah bunyi slogan yang tampak terpampang didepan saat kumasuki gedung ini...
Begitu mengandung banyak makna yang terkandung dari sebaris kata suratkan tujuan diadakannya Jambore ini..
Jambore yang diikuti oleh 35 kabupaten se-Jawa Tengah.. sempat membuat diri ini minder.. karna begitu banyak peserta yang datang, nampak penuh dengan segala idealisme yang dibawanya, membawa nama daerahnya masing-masing...
Dengan niat yang sederhana, kembali kubesarkan hati ini.. akan kuberikan yang terbaik yang kumampu tuk bawa nama Blora tercinta.. paling tidak buat diriku dengan kesempatan ini, aku akan bisa mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga dari mengikuti Jambore ini..
dan yang paling penting.. adalah pengamalan yang tak mungkin terulang dan tak mungkin kulupakan..
kudapatkan banyak sekali teman dari luar daerah yang ternyata mempunyai niat sama yaitu mengembangkan pendidikan nonformal di masing-masing daerahnya..
Hatipun timbul rasa bangga.. ternyata masih banyak orang-orang yang peduli...
peduli terhadap kenyataan yang ada dengan masih banyaknya anak-anak generasi banyak yang patut dan layak diperjuangkan di tengah ketidakmampuan ekonomi dan segala keterbatasan mereka.
Dengan wujud p2pnfi dan visi misinya yang begitu memberikan pengakuan, penghargaan ataupun apresiasi terhadap pendidik yang berkompeten di bidang pendidikan nonformal.. menambah semangat saya.. untuk lebih totalitas jiwa raga ini mengabdikan diri... menambah semangat saya untuk terus belajar dan belajar untuk berikan yang terbaik bagi anak-anak didikku.. ikut memberikan kontribusi terhadap pendidikan nonformal di kabupaten Blora tercinta...

Minggu, 06 Juni 2010

BLORA INGIN BERUBAH...

Sebuah proses demokrasi politik telah berlangsung di Blora..
Pemilu Kada Blora Tahun 2010 telah dilangsungkan baru saja tepatnya hari Kamis Pahing tanggal 3 Juni 2010.. dan alhamdulillah berjalan dengan aman dan lancar..
antusias warga ternyata begitu nampak dengan begitu banyaknya masyarakat yang berdatangan di TPSnya masing-masing untuk menggunakan hak pilihnya dalam menentukan nasib Blora lima tahun kedepan. Dan dibuktikan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hal pilihnya di Pilkada blora tahun 2010 ini adalah sekitar 70. 6 % dari Daftar Pemilih Tetap untuk Kabupaten Blora.
Dari tiga pasangan calon yang menjadi peserta Pemilukada Blora tahun ini..
Pasangan calon dari urutan nomor tiga yaitu Joko Nugroho dan Abu Nafi, SH berhasil memenangkan pertarungan politik kali ini mengalahkan Pasangan nomor urut satu yang merupakan incumbent yaitu Pasangan Yudhi Sancoyo dan Hestu Bagiyo Sunjoyo yang diusung dari Partai Golkar. Pasangan urut nomor tiga yang biasa disebut KOLBU yang diusung dari 6 partai yaitu Demokrat, PKB, Hanura, PIB, PDP, dan PPP berhasil memperoleh suara yang begitu mencengangkan.. terpaut jauh dari pasangan incumbent..
Menurut hasil rekapitulasi penghitungan suara dari Panwaslu Kab. Blora diperoleh data sbb.
Nomor urut satu (YES) mendapat suara yaitu 197.573 atau 41,11 %
Nomor urut dua (WALI) mendapat suara yaitu 39.397 atau 8,20 %
dan Nomor urut tiga (KOLBU) mendapat suara yaitu 243.590 atau 50,69 %
Ingin Perubahan... itulah yang kata yang sering terucap dari hasil kemenangan ini..
moto "saatnya berubah" yang diusung dari pasangan Kolbu berhasil meraih simpati masyarakat Blora.. sesuai visi misi yang selama ini diusung perubahan signifikan akan segera dilakukan oleh pasangan calon yang berasal dari Cepu dan Blora tersebut. Mulai dari pemerintahan yang bersih (good governance), perbaikan sarana dan prasarana hingga pendidikan dan kesehatan gratis.
Harapan masyarakat, VISI MISI tersebut tak hanya terhenti diatas kertas..
dan sekarang rakyat Blora menunggu aksi mereka setelah Pelantikan yang akan dilaksanakan tanggal 11 Agustus 2010..
Semoga menjadi pemimpin yang diharapkan masyarakat, bisa membawa Blora lebih maju dan sejahtera...


Kemanakah moral bangsa ini...


Satu Juni adalah hari lahir Pancasila..
Pancasila yang begitu mengingatkan akan betapa besar perjuangan dan pengorbanan dari para pahlawan pendiri bangsa ini...
sebuah kata yang seolah begitu sakral dalam proses menuju kata "MERDEKA"
Dan menjadi Dasar bagi negara tercinta INDONESIA RAYA..
Kata Pancasila yang sederhana mengandung begitu banyak makna.. makna yang dalam sebagai wujud kepribadian bangsa ini..
Kata Pancasilapun mampu menggetarkan hati para pengerti sejarah tentang tentang sebuah rasa nasionalisme..
Pancasila begitu perkasa hingga mampu menyatukan seribu pulau terbentang dalam sebuah wadah NKRI..
Namun kini...
bagi sebagian orang. Pancasila hanya menjadi hiasan dinding yang tak memiliki makna. Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala aspek kehidupan berkebangsaan tak lagi menyentuh moralitas anak bangsa dan juga tidak mampu mempengaruhi mentalitas para pemimpin bangsa.
Sehingga yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam setiap perilaku warga..
Tanggal 1 Juni 2010 yang diperingati sebagai hari lahir Pancasila hanya menjadi ajang simbolisasi peringatan yang tak memiliki makna..
Kenyataan yang adapun saat ini begitu disayangkan karna banyak sekali generasi sekarang yang tak lagi tahu tentang isi dari sila-silanya apalagi untuk memahami dalam setiap perilakunya..
Entah...
Salah siapakah ini...
dan kemanakah rasa nasionalisme bangsa ini...
telah menjadi sebuah rentetan sebab yang begitu panjang tak berujung, tuk mencari sumber dari permasalahannya...
Kita harus sadar akan kenyataan ini...
Pemerintahpun harus segera mencari solusi tuk mengembalikan kejayaan Pancasila sebagai Filosofi kehidupan bangsa yang berkepribadian..
Semua pihak sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai tanggung jawab tuk kejayaan bangsa ini..
dalam hal ini pendidik yang merupakan ujung tombak dalam pendidikan harus mampu menjadi suri tauladan dan pengenalan tentang makna Pancasila di setiap kesempatan..
Karna tanpa dimulai dengan perbuatan tuk merubah keadaan yang ada ini...
tidak mustahil beberapa tahun lagi Pancasila tak lagi bergaung di negeri ini...
Hingga hanya menjadi hiasan dinding tanpa makna...
dan sila-silanya hanya sebagai hafalan anak sekolah dasar tanpa mengerti filosofi dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya...

MENGANGKAT BUDAYA LOKAL SEBAGAI TEMA DALAM BAHAN AJAR TEMATIK BAGI WARGA BELAJAR PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN BLORA

Program Keaksaraan Fungsional merupakan bentuk pelayanan Pendidikan Luar Sekolah yang bertujuan untuk membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki kemampuan mambaca, menulis, berhitung dan menganalisis yang berorientasi pada kehidupan sehari – hari dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya sehingga warga belajar dan masyarakat dapat meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. Sebagai program yang diunggulkan untuk mensukseskan gerakan tuntas buta aksara sacara nasional maka dalam pelaksanaannya program keaksaraan fungsional perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan optimal agar memiliki manfaat dan berdampak secara luas dalam mempercepat pemberantasan buta aksara dan pada gilirannya nanti dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat buta aksara pada umumnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik dalam bidang kesehatan, gizi maupun ekonomi. Disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut maupun kemiskinan kesadaran masyarakat serta masalah ekonomi, penyebab buta aksara dapat diidentifikasi antara lain, pertama: putus sekolah dasar, kedua : Demografis dan geografis, ketiga: aspek sosiologis. Ditinjau dari aspek sosiologis sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa harkat dan martabat seseorang akan meningkat jika memiliki ijazah yang diperoleh dari jalur pendidikan formal (persekolahan) dengan orientasi untuk dapat bekerja di perusahaan, menjadi pegawai maupun bekerja di sektor formal. Pada sisi lain program pemberantasan buta aksara yang diintegrasikan dengan berbagai pendidikan ketrampilan, tidak memberikan ijazah seperti yang diharapkan sehingga kurang diminati oleh masyarakat.
Selain itu, penyebab warga masyarakat buta aksara adalah karena mereka hidup dalam keluarga yang berpendidikan rendah dan miskin sehingga tidak mampu untuk membiayai pendidikannya. Sementara pada sisi lain tidak ada kepedulian orang – orang terdidik di sekitarnya untuk mendidik mereka. Faktor lain yang kurang diperhatikan menjadi penyebab buta aksara adalah DO dari program–program pendidikan luar sekolah baik melalui program keaksaraan maupun kesetaraan. Hal ini disebabkan karena kurangnya motivasi dari dalam diri warga belajar serta tidak dirasakannya manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan ketrampilan tidak akan menarik minat mayarakat miskin apabila mereka tidakmerasakan langsung manfaatnya untuk kehidupan mereka.
Secara garis besar penduduk buta aksara dapat dikelompokkan menjadi tiga menurut penyebabnya, Pertama ; penduduk yang buta aksara karena tidak pernah memperolah kesempatan pendidikan sama sekali, mereka ini kebanyakan anak usia sekolah maupun orang dewasa yang belum memperoleh kesempatan pendidikan sama sekali, Kedua; penduduk yang buta aksara karena putus sekolah pada kelas-kelas awal sekolah dasar atau yang setara dengan itu, Ketiga; penduduk yang buta aksara kembali, kelompok ini terdiri dari anak-anak yang pernah sekolah dan kemudian putus sekolah dan orang dewasa yang pernah mempunyai kemampuan keaksaraan namun kemudian tidak mempunyai kesempatan menggunakan keaksaraannya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa sasaran dari program keaksaraan fungsional sebagian besar adalah warga masyarakat usia dewasa. Untuk memulai dan melaksanakan pembelajaran di kelompok belajar orang dewasa tidak mudah bagi tutor untuk menerapkan dan mengembangkan metode belajar apabila kita belum berpengalaman membelajarkan peserta didik yang berusia dewasa. Seringkali tutor mengalami kesulitan untuk memulai pembelajaran. Hal mendasar yang menjadi permasalahan adalah kadang – kadang para tutor mengalami kesulitan dalam memilih dan menentukan tema dan bahan ajar yang cocok dan sesuai dengan kondisi warga belajar ddalam proses pembelajaran di kelompok belajar.
Tema pembelajaran yang disajikan tutor dlam proses pembelajaran program keaksaraan fungsiona tidak dapat serta merta ditentukan oleh tutor sendiri, tetapi harus melalui proses penggalian minat dan kebutuhan, pengalaman, pemilihan dan keputusan bersama di dalam kelompok belajar yang bersangkutan. Dalam kenyataannya, selama ini dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional materi yang diberikan kepada warga belajar ditentukan sendiri oleh tutor dengan menggunakan metode belajar yang tidak variatif. Warga belajar hanya diajarkan bagaimana membaca, menulis dan berhitung dengan cara mencontoh apa yang ditulis di papan tulis oleh tutor. Hal ini mengakibatkan warga belajar mengalami kejenuhan yang pada akhirnya nanti akan mengakibatkan banyaknya warga belajar yang tidak tuntas dalam mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena iti, tutor haruslah kreatif dalam menggunakan metode belajar serta materi bahan ajar yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Tutor harus berusaha untuk mencari dan menemukan tema-tema belajar yang dapat menarik minat belajar para warga belajar.Upaya tutor dalam mencari, menemukan, memilih dan menetapkan tema – tema belajar yang dilakukan dalam proses pembelajaran inilah yang kemudian dikenal dengan bahan ajar tematik. Sedangkan penyusunan bahan ajar adalah suatu upaya untuk merumuskan atau merancang materi dan alat yang akan disajikan dlam proses pembelajaran berdasarkan tema – tema yang telah ditetapkan.
Dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional dengan menggunakan pendekatan partisipatif, pemilihan tema tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling terkait dengan bahan ajar. Oleh karena itu kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional. Pemilihan tema dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan partisipatif dapat dimulai ketika tutor berhadapan dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Tutor harus memahami dengan baik karakteristik , minat dan kebutuhan belajar dari setiap peserta didik. Setiap peserta didik memiliki minat dan kebutuhan belajar yang berbeda dengan peserta didik yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat pula dari lingkungan tempat peserta didik tinggal, seperti desa, kota, daerah pantai, pegunungan, daerah terpencil dan lain – lain. Selain itu, budaya lokal yang berkembang di masyarakat juga sangat mempengaruhi minat dan kebutuhan belajar dari peserta didik.
Perumusan tema dan bahan ajar memiliki tujuan agar proses pembelajaran memperoleh hasil belajar yang maksimal bagi para warga belajar. Pemilihan tema dan bahan ajar sebaiknya dilakukan secara fleksibel dan memperhatikan tiga faktor, yaitu: (1) minat dan kebutuhan warga belajar, (2) potensi dan karakteristik lingkungan, (3) situasi belajar saat itu. Dengan demikian, penentuan tema adalah hal yang sangat penting karena dapat memberikan arah belajar yang tepat sesuai dengan keinginan warga belajar serta dapat menentukan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dalam hal ini tutor harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar dan potensi lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam hayati, non hayati dan buatan.
Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai tema dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional yang bersumber dari potensi lingkungan di mana kelompok belajar keaksaraan tersebut berada. Salah satu sumber tema yang dapat dijadikan sebagai bahan dalam proses pembelajaran adalah budaya lokal yang berkembang di lingkungan kelompok belajar. Masyarakat akan merasa tertarik apabila diajak membicarakan tentang budaya yang berkembang di lingkunganya. Budaya lokal adalah budaya atau kebiasaan yang berkembang dan diyakini keberadaanya oleh sekelompok masyarakat di suatu wilayah. Kondisi geografis dan pola pikir masyarakat sangat mempengaruhi budaya lokal yang berkembang di suatu wilayah. Hal – hal yang termasuk dalam konteks budaya lokal antara lain upacara adat, kesenian, sejarah terbentuknya sebuah wilayah atau babat.
Di Kabupaten Blora banyak sekali budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber tema yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar keaksaraan. Budaya – budaya lokal yang berkembang pesat di masyarakat di Kabupaten Blora antara lain:
1. Upacara gas deso.
Upacara ini dilakukan oleh semua warga masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Masing – masing desa kadang memiliki sebutan yang yang berbeda. Ada juga yang menyebut upacara ini dengan istilah manganan. Banyak hal yang dapat digali dari upacara gas deso atau manganan untuk dijadikan sebagai sumber tema, yaitu hari pelaksanaan, jenis makanan yang harus disajikan, kesenian yang ditampilkan, dimana upaca dilaksanakan.
2. Sejarah wilayah atau babat
Sejarah wilayah atau babat adalah cerita turun temurun yang diyakini kebenarannya oleh sekelompok masyarakat tentang terbentuknya suatu wilayah / desa. Hal ini berkaitan erat dengan seorang tokoh yang sangat berperan dalam terbentuknya suatu wilayah / desa. Babat merupakan cerita menarik yang masih sangat disukai oleh sebagian besar masyarakat.

3. Upacara kelahiran
Upacara ini masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Kabupaten Blora. Prosesnya dimulai ketika bayi masih dalam kandungan ( upacara tingkepan ) sampai bayi lahir ( upacara puputan, selapanan, bayi telu, bayi pitu ).

4. Kesenian barongan
Kesenian ini berkembang dengan baik di Kabupaten Blora. Dalam acara apapun kesenian ini masih sering ditampilkan mulai dari kirab hari jadi kabupaten Blora, acara khitanan, ulang tahun, perayaan kemerdekaan dan lain – lain. Hal yang dapat digali dari kesenian barongan sebagai sumber tema sangat banyak sekali. Mulai dari sejarahnya sampai pada pelakunya.
Hal – hal yang dikemukakan di atas merupakan sumber tema untuk bahan ajar yang tidak akan ada habisnya digali oleh para tutor keaksaraan. Yang perlu diperhatikan disini adalah kreatifitas tutor untuk menemukan tema yang cocok dengan kondisi kelompok belajar. Oleh sebab itu, tutor perlu mengenal dengan baik kebiasaan masyarakat yang ada di sekitar kelompok belajar. Tutor harus mengunjungi atau mengenal tempat – tempat dimana orang sering berdiskusi secara terbuka mengenai masalah – masalah masyarakat. Tutor dapat menggunakan diskusi informal dengan tokoh masyarakat untuk mengetahui tema hangat yang dapat dikembangkan di dalam kelompok belajar. Oleh sebab itu, tutor harus mengenal dan mendengar dengan baik tentang hal – hal yang berkembang di masyarakat dan sudah menjadi budaya bagi mereka dan juga memahami apa yang mereka anggap penting di lingkunganya. Dalam program keaksaraan fungsional, yang terpenting adalah pemilihan tema dalam pembelajaran. Sebaiknya tutor memilih tema hangat dan fungsional agar peserta didik memiliki kesan yang mendalam dan termotivasi dalam belajar.

PENDEKATAN BAHASA IBU ( BAHASA JAWA ) DALAM PEMBELAJARAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI LINGKUNGAN MASYARAKAT SAMIN; SEBUAH UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI BAHASA JAWA

KEHIDUPAN global adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia menggiring banyak fenomena ke dalam ruang penyeragaman dan memengaruhi kehidupan hanya pada satu rujukan, yakni modernitas. Sementara di lain sisi, desakan-desakan global semacam itu menimbulkan kesadaran yang reaktif, yakni bangkitnya kesadaran untuk segera menyelamatkan kehidupan dengan segala keberbagaiannya, termasuk kehidupan berbahasa. Bahasa Inggris yang lekat dengan citraan budaya global, dan bahasa nasional yang lahir atas nama kesadaran nasionalisme di suatu negara, perlahan namun pasti dipandang telah mengikis keberadaan bahasa-bahasa daerah, yang kemudian disebut juga sebagai bahasa ibu.
Banyak bukti dari berbagai hasil penelitian memperlihatkan betapa terdapat sejumlah bahasa telah punah di muka bumi. Bahkan diprediksi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia, 50 persennya akan punah. Di Indonesia, tempat di mana terdapat 731 bahasa, proses kepunahan pun terus berlangsung sampai hari ini, di antaranya adalah sejumlah bahasa daerah.
Atas kecemasan inilah sejak tahun 1991 UNESCO mencanangkan semacam tradisi dalam kehendak membangun kesadaran pada bahasa ibu. Tradisi yang kemudian berlanjut sampai tahun ini dengan apa yang disebut Hari Bahasa Ibu Internasional. Dr. Cece Sobarna, M.Hum. mengutip Uriel Weinreich (1968) menyatakan, persaingan bahasa yang mengakibatkan matinya bahasa terjadi akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat yang multibahasa. Persaingan terjadi antara bahasa ibu (daerah), bahasa nasional, dan bahasa asing. Kecemasan akan punahnya bahasa ibu adalah kecemasan yang logis yang bersebab pada kenyataan kian surutnya penutur bahasa ibu di tengah desakan bahasa nasional dan bahasa asing.
Meskipun dalam pandangan Cece hasil penelitian menunjukkan bahwa 85% penduduk Indonesia di berbagai daerah masih menggunakan bahasa ibu, namun gejala penurunan adalah juga kenyataan yang terus terjadi, terutama di kalangan anak-anak muda. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dialek betawi ketimbang bahasa daerah. Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa ibu, tak lepas dari desakan bahasa Indonesia yang semula hanya dipakai dalam situasi resmi. Menyusutnya fungsi bahasa ibu ini menjadikan daya tahan dan daya saingnya tidak seimbang di hadapan bahasa nasional atau asing. Kenyataan ini diperparah dengan adanya anggapan yang keliru bahwa bahasa ibu merupakan simbol keterbelakangan.
Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas. Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61 persennya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik, dan 726 lebih di antaranya di pakai di wilayah Indonesia.
Dalam tataran sosiolinguistik makro, pengkajian pemertahanan bahasa (language maintenance) lazimnya tertuju pada bahasa dalam konteks bilingual, dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 726 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta.
Adanya kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya suatu bahasa adalah suatu hal yang wajar, hal ini mengingat adanya beberapa kasus bahasa-bahasa tertentu yang bernasib malang, atau ditinggalkan para penggunanya. Contohnya saja beberapa bahasa di wilayah Irian Jaya seperti bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat) diduga sudah punah, atau hanya digunakan oleh beberapa penutur saja..
Hal yang sama, sangat mungkin terjadi terhadap bahasa lainnya, seperti bahasa Jawa misalnya, jika tidak ada kepedulian dari masyarakat penggunanya. Padahal, dengan punahnya suatu bahasa berarti hilang pula salah satu alat pengembang serta pendukung utama kebudayaan tersebut. Lebih dari itu, berarti hilang pula salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai harganya.
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau Jawa. Bahasa jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubahsuai dari huruf Arab.Penduduk Jawa yang berhijrah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehinggakan terdapat kawasan penempatan mereka dikenali sebagai kampung Jawa, padang Jawa.
Dapat dikatakan bahwa setiap bahasa menggambarkan pandangan dan budaya dunia yang unik serta mencerminkan cara dimana masyarakat tutur memecahkan masalahnya dalam menghadapi dunia, merumuskan cara berfikirnya, sistem filsafatnya, dan memahami dunia di sekitarnya. Dengan punahnya suatu bahasa berarti suatu kesatuan yang tidak dapat digantikan dalam ilmu pengetahuan, dan dari pemahaman pemikiran manusia, maka pandangan dunia terhadap bahasa tersebut telah menghilang selamanya
Melihat fenomena kepunahan bahasa seperti kasus-kasus di atas, agar bahasa Jawa tidak mengalami nasib yang sama maka diperlukan suatu langkah konkret untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan. Salah satu langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan adalah dengan mengembangkan sebuah metode belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional melalui pendekatan bahasa ibu (bahasa Jawa). Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Proses pembelajaran di daerah yang memiliki karakteristik budaya yang khusus seperti masyarakat Samin, lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah setempat. Pendekatan tersebut akan memudahkan warga belajar untuk menerima materi dari tutor keaksaraan. Komunikasi menggunakan bahasa daerah, lebih mengena dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia. Walau begitu, pembelajaran keaksaraan tetap harus menggunakan bahasa standar yaitu Bahasa Indonesia.Dengan pendekatan bahasa ibu, warga belajar secara bertahap akan menggunakan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu.
Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu Jawa, menulis pengalaman warga belajar dengan menggunakan bahasa Jawa, menulis surat berbahasa Jawa, dan menulis tentang budaya lokal masyarakat samin dengan menggunakan bahasa Jawa. Seperti diketahui, masyarakat Samin (wong sikep) adalah sekelompok masyarakat di mana para pendahulu mereka menggunakan bahasa Jawa sebagai alat untuk menentang penjajah Belanda, sehingga bahasa Jawa adalah bahasa yang sudah sangat akrab dengan keseharian masyarakat Samin. Hal ini mengakibatkan para warga belajar tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami setiap materi yang diajarkan oleh tutor.
Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor.. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal. Kemudian dengan dibantu oleh tutor, warga belajar menerjemahkan apa yang dipelajari dengan menggunakan bahasa Jawa tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalamannya. Kekayaan bahasa dan budaya Jawa ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.
Pengembangan model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Jawa. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Jawa dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Jawa yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan budaya dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Jawa pada umumnya.

PEMBERANTASAN BUTA AKSARA MELALUI KKN TEMATIK BAGAIMANA HASILNYA?

UNESCO mendefinisikan buta aksara adalah mereka yang tidak dapat membaca, dan menulis secara sederhana untuk keperluan sehari-hari. Definisi ini merupakan hal standar yang diakui secara internasional. Sehingga pada laporan tahun 2006 disebutkan bahwa penduduk dunia usia 15 tahun ke atas yang buta aksara 771 juta jiwa.
Di Indonesia sendiri jumlah penduduk yang buta aksara lebih dari 12 juta. Dari total jumlah tersebut 68,5% adalah perempuan.
Beberapa factor penyebab buta aksara adalah masih banyaknya anak usia 7 – 12 tahun yang tidak memperoleh kesempatan pendidikan dasar terutama di luar jawa dan daerah terisolir atau sulit dijangkau. Kemudian juga banyaknya jumlah siswa yang putus SD kelas I sampai kelas III. Serta belum memadainya sarana membaca dan menulis bagi aksarawan baru sehingga kembali menjadi buta aksara.
Pemerintah sebenarnya sudah banyak berupaya mengatasi permasalahan tersebut. Baik yang berkaitan dengan peningkatan alokasi anggaran untuk penuntasan maupun menerapkan berbagai macam strategi. Strategi-strategi baru itu dilakukan pemerintah dalam rangka mempercepat pemberantasan buta aksara.
Salah satu strategi baru adalah menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan, organisasi social keagamaan, kemasyarakatan serta organisasi profesi. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas sampai Dinas Pendidikan Kab/Kota sudah memahami adanya kerjasama tersebut dan dituangkan dengan MOU dengan masing-masing lembaga yang dipercaya.
Salah satu lembaga yang diajak kerjasama adalah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta dalam belum Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik. Mengapa mahasiswa KKN dilibatkan dalam program ini? Ada beberapa alasan yang menjadi bahan pertimbangan antara lain: (pertama) para mahasiswa dapat dijadikan sebagai tutor yang telah mempunyai bekal kemampuan akademis dan usia yang masih muda sehingga mempunyai idealisme yang tinggi dalam rangka pencapaian tugas yang akan dibebankan. (kedua) mahasiswa akan lebih intens bertemu dengan warga belajar karena berada dilingkungan warga belajar. (ketiga) dengan pendekatan ini diharapkan waktu untuk pemberantasan akan empat kali lebih cepat disbanding dengan yang ditangani oleh Dinas Pendidikan Kab/Kota dan organisasi lain.(keempat) adanya sebuah fakta bahwa nilai mahasiswa di mata masyarakat masih sangat tinggi sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini juga meningkat.

Kendala
Melihat optimisme berbagai kalangan terhadap keberhasilan mahasiswa memang sangat wajar mengingat berbagai kelebihan yang dimiliki para mahasiswa. Namun demikian harapan yang terlalu besar tanpa melihat realitas di lapangan justru akan menjadi beban yang yang sangat berat bagi para mahasiswa itu sendiri, karena setelah terjun ke lapangan tidak sedikit kendala yang harus dihadapi oleh para mahasiswa peserta KKN tematik.

Pengalaman penulis sebagai pelaku pendidikan nonformal khususnya program pemberantasan buta huruf dapat memberikan gambaran bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh para mahasiswa. Berdasarkan penuturan beberapa mahasiswa baik yang secara langsung berdiskusi dengan penulis maupun pembicaraan mahasiswa dengan rekan-rekannya yang dapat penulis rekam ternyata apa yang terjadi di lapangan banyak kendala yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut ada beberapa kendala yang dapat penulis analisis antara lai: Pertama, jumlah jam pertemuan sangat jauh dari harapan ideal. Mengingat berdasarkan ketentuan bahwa melek aksara tingkat dasar (basic literacy) jumlah jam yang harus ditempuh adalah 144 jam dalam waktu 6 bulan penyelenggaraan. Hal tersebut berarti satu minggu rata-rata pembelajaran 6 jam. Dengan demikian kalau satu pertemuan 2 jam berarti dalam satu minggu harus 3 kali pertemuan. Dalam relaitas di lapangan dengan waktu KKN yang 45 hari dianggap saja hari efektifnya 36 hari. Kalau diasumsikan 36 hari berarti tiap hari harus pembelajaran 4 jam. Pertanyaannya apakah mungkin warga belajar yang notabene berasal dari masyarakat kurang mampu, mereka dapat menyediakan waktu luang untuk belajar selama 4 jam perhari? Dengan warga belajar yang berlatar belakang demikian itu maka banyak kegiatan sepanjang hari yang menyita waktu mereka untuk bekerja dan bekerja mencari nafkah. Karena yang pelaksanaan konvensional saja dengan waktu 6 bulan banyak warga belajar yang tidak aktif untuk ikut pembelajaran.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya dalam kebehasilan program adalah kemampuan tutor. Untuk dapat menjadi tutor bagi warga belajar program ini tidak hanya sekedar menyampaikan materi saja, tapi diharapkan tutor dapat berperan sebagai motivator, fasilitator sekaligus menjadi teman. Dengan warga belajar usia dewasa informasi yang diberikan harus dua arah jangan sampai timbul kesan ada pemisah. Di samping itu kendala bahasa antara tutor dengan warga belajar juga merupakan kendala yang sangat serius. Tidak sedikit mahasiswa yang tidak dapat berbahasa Jawa begitu pula sebaliknya sebagian besar warga belajar juga buta akan bahasa Indonesia, sehingga yang terjadi di lapangan adalah komunikasi yang terputus. Pada sisi lain masalah tutor adalah penguasaan materi dan bahan ajar yang ada disekitar yang belum dipahami oleh para mahasiswa hal tersebut dikarenakan waktu sosialisasi dan pelatihan bagi mahasiswa yang terlalu sedikit. Ketiga, koordinasi merupakan bagian yang tidak dapat pisahkan dalam program yang melibatkan lintas sektoral dan berbagai macam organisasi. Karena selama ini koordinasi hanya dipahami sekedar pemberitahuan atau pertemuan tanpa dilanjutkan dalam bentuk implementasi setelah itu. Dengan kendala jarak yang jauh antara masing-masing perguruan tinggi dengan Dinas Pendidikan dan calon tempat KKN justru yang terjadi adalah kesan adanya rebutan sasaran antara KKN dengan penyelenggara yang sudah berjalan. Keempat, data merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan program pemberantasan aksara. Namun justru yang terjadi di lapangan data merupakan hal yang sangat sulit diperoleh berdasarkan data dasar (base data) karena selama ini meskipun data sudah by name by address namun itu hanya berdasarkan sasaran yang digarap saja sedang data dasar secara keseluruhan dari wilayah itu yang buta huruf belum ada. Dengan demikian antara pemahaman perguruan tinggi dengan keadaan yang ada di Dinas Pendidikan justru berbeda. Perguruan tinggi berasumsi bahwa data yang ada di Kabupaten merupakan data dasar sehingga yang menjadi tanggungjawabnya adalah dalam proses pembelajaran. Sedangkan di masing-masing kabupaten untuk memperoleh data dasar seperti penulis sampaikan di atas sangat sulit dan membutuhkan waktu serta dana yang tidak sedikit. Hal tersebut dapat dimaklumi karena pengalaman BPS untuk memperoleh data yang sifatnya sensus saja memerlukan tenaga yang terlatih. Apalagi data itu kalau by name by address berapa besar tenaga dan biaya yang dibutuhkan. Sehingga yang disodorkan adalah data yang mungkin sudah digarap oleh penyelenggara yang lebih dahulu.

Solusi
Mengingat KKN tematik merupakan kebijakan nasional maka setelah program ini selesai perlu diadakan evaluasi secara menyeluruh dan mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi. Apabila KKN tematik ini merupakan sarana yang efektif untuk pemberantasan buta huruf pada tingkatan selanjutnya maka menurut penulis ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain:
Untuk memperoleh data dasar yang menyeluruh dengan by name by address Departemen Pendidikan harus berkoordinasi dengan BPS pada saat sensus. Agar dalam pelaksanaan sensus unsur-unsur pendidikan juga dapat di gali datanya sampai masing-masing warga negara diketahui pendidikan yang diperolehnya. Kalau langkah itu tidak dapat dilakukan mengingat pengalaman BPS yang sifatnya sensus atau pendataan kawasan kemudian dilakukan prediksi-prediksi tertentu maka alternative berikutnya adalah memanfaatkan para mahasiswa yang KKN itu untuk melakukan pendataan secara keseluruhan dengan by name by address dengan tingkat pendidikannya. Sehingga hasilnya dapat digunakan oleh Dinas Pendidikan untuk semua program tidak hanya keaksaraan tapi juga wajar dikdas dan program pendidikan anak usia dini serta program lainnya. Dengan demikian penulis sangat yakin apabila kedua cara tadi diterapkan pemberantasan buta huruf akan berhasil dengan baik, sehingga tahun 2015 sepertinya kesepakatan Dakkar akan terwujud. Atau juga pencanangan bahwa tahun 2008 bangsa Indonesia tingkat niraksara tinggal 5% akan tercapai.

Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial

Pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia kemampuan mereka masih memerlukan perbaikan di segala bidang. Program pemberdayaan perempuan merupakan salah satu isu utama dunia, di samping masalah pengentasan orang miskin, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan good governance.
Dalam situasi saat ini, di mana persaingan global semakin menguat dan ketat, program pemberdayaan perempuan menjadi sangat penting artinya dalam menjawab berbagai tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di masa datang. Kemampuan perempuan menjadi lebih rendah karena selama ini cenderung diletakkan pada posisi yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Ini menyebabkan kemampuan mereka untuk berkontribusi menjadi lebih kecil.
Komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya. Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDG’s.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP. Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling mendasar.
Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita di dunia secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri, tapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya.

MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN SAMIN MELALUI PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor determinan bagi keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, baik perempuan maupun laki-laki harus dapat menggerakkan dan membuat perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik atau sebagai agent of social change. Di samping itu, secara khusus perempuan perlu memiliki kemampuan untuk turut mengambil keputusan, yang didukung oleh kemauan dan keberanian dengan menggunakan kesempatan untuk menjadi teman seperjuangan laki-laki.
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam budaya kita, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya.
Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik diwilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi,dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda. Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perludipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut.
Determinise biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja. Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah. Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan sejarah manusia pada masa lalu telah menciptakan mithos – mithos hubungan antara pria dan wanita yang pada akhirnya menempatkan wanita pada posisi terbelakang atau underprivileged. Bebarapa pakar mencoba menggali akar histories dan akar structural dari masalah ini ( highlights of the Philippine Development Plan for Women, 1989-1992), yaitu: (1) adanya dikotomi maskulin/feminine peranan manusia sebagai akibat dari determinisme biologis, seringkali mengakibatkan proses marjinalisasi wanita, (2) adanya dikotomi peran publik / peran domestik yang berakar dari sindroma bahwa “peran wanita adalah di rumah”, yang pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi reproduktif antara pria dan wanita, (3) adanya konsep “beban kerja ganda” (double burben) yang melestarikan wawasan bahwa tugas wanita terutama adalah di rumah sebagai ibi rumah tangga, cenderung menghalangi proses aktualisasi potensi wanita secara utuh, (4) adanya sindroma subordinasi dan peran marjinal wanita dalam masyarakat adalah sekunder.
Ketertinggalan wanita merupakan konsekuensi dari adanya stratifikasi sosial dan fungsionalisasi masing – masing strata sosial. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi kelompok yang dirugikan oleh sistem kehidupan yang berkembang di masyarakat. Perbaikan kedudukan wanita menuntut tindakan – tindakan konkret pada tingkat nasional, lokal dan keluarga di samping perubahan sikap dan peran pria dan wanita. Kemajuan wanita bukanlah sekedar permasalahan sosial, tetapi harus dilihat sebagai komponen yang esensial dari semua dimensi pembangunan. Oleh sebab itu untuk mengubah pandangan bahwa wanita adalah sekedar “konco wingking” dan “penerus keturunan” diperlukan suatu program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya perempuan.
Tujuan Pembangunan menurut Seers (Sudjana, 2000) menitikberatkan pada tiga hal, yaitu: mengurangi kemiskinan, menanggulangi pengangguran, dan mengatasi ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Banyak ketidakadilan terjadi di masyarakat, salah satunya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Pada dasarnya tujuan pembangunan itu adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Hal tersebut, dapat dilakukan melalui upaya pemberdayaan, yaitu dengan meningkatkan kualitas manusianya, sehingga mereka mampu mengatasi persoalan yang mereka hadapi, khususnya kaum perempuan.
Pemberdayaan bertujuan untuk memberikan daya/kekuatan dari ketidakadilan. Daya atau kekuatan yang dimaksud di sini bukan bentuk penguasaan atas orang lain tetapi suatu rasa kekuatan batin dan kepercayaan untuk menghadapi hidup, hak untuk menetapkan pilihan-pilihan sendiri dalam hidup, kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses sosial yang mempengaruhi kehidupannya. Selanjutnya dengan daya/kekuatan tersebut, diharapkan mereka mampu mengatasi persoalan yang dihadapi. Ada empat hal yang dilakukan dalam pemberdayaan, yaitu: (1) Self Awareness, membantu menemukan sesuatu yang berarti baginya, (2) Vision Crafting, membantu menumbuhkan potensi yang dimiliki, (3) Mental Clearing, membantu menyehatkan dan membentuk kembali keyakinan dalam menghadapi rintangan yang akan datang, dan (4) Manifestation, membantu memahami keterampilan yang mendatangkan keuntungan bagi seseorang (Gershon & Straub,2004).
Salah satu cara upaya pemberdayaan perempuan adalah melalui pendekatan pendidikan. Pendidikan nasional yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (ps. 3 UU No. 20 th. 2003). Pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Salah satu program pendidikan yang sekarang mendapatkan perhatian adalah Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills), yaitu program pendidikan yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan vokasional kepada peserta didik yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja atau usaha mandiri.
Di Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora masyarakat keturunan Samin hidup selayaknya warga biasa. Mereka bercocok tanam cabai, jagung, kacang tanah, padi dan lain sebagainya karena bagi masyarakat samin pekerjaan pokok adalah bertani, orang-orang Sikep ( samin ) tidak antisekolah. memang, ketika Belanda masih bercokol mereka menolak istitusi sekolah. Sekolah dianggap menciptakan bendoro (kaum elitis) dan bukan lagi rakyat (kawulo). Mereka beranggapan bahawa "Kalau sudah sekolah akan menjadi antek Belanda," .
Ketika Belanda pergi, ajaran lisan mereka masih tetap diturunkan. "Ana tulis tanpa papan, ana papan sakjeroning tulis," yaitu menggambarkan ajaran itu ditularkan lewat ucapan disertai contoh keseharian. Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Sikep adalah kesederhanaan, dalam manajemen keluarga, orang-orang Samin lebih teliti dibandingkan dengan non-Samin. Mereka tidak membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, selain itu masyarakat samin juga terkenal dengan kejujuran dan kerja keras yang merupakan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin. Walaupun kalau dirunut ke belakang, sulit diketahui bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu lantas mengalami metamorfosa menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini. Kadang dipegang dan diterapkan secara kaku, terlalu idealistis, bagai tak berkompromi dengan pandangan masa kini. Faktor itu yang masih sering disalahartikan oleh orang-orang yang tidak senang.
Dalam tata kehidupan masyarakat samin, perempuan hanya dipandang sebagai konco wingking yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap rumah tangga. Kodrat perempuan sebagai makhluk yang lemah yang memiliki tugas untuk melahirkan, mengurusi domestik rumah tangga dan membesarkan anak, sangat dipegang teguh oleh masyarakat samin. Hal ini mengakibatkan kondisi sosial perempuan samin menjadi terbelakang dan tidak pernah tahu yang namanya pendidikan, karena menurut kepercayaan mereka pendidikan yang terpenting adalah pendidikan di dalam keluarga.
Melihat kondisi tersebut perlu dilaksanakan penanganan pemberdayaan perempuan masyarakat samin yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki, sehingga upaya pendidikan kecakapan hidup perempuan yang dilakukan tidak berbenturan dengan keluarga dan kondisi sosial masyarakat khususnya adat istiadat kaum samin,
Pengembangan di bidang pendidikan dan kewirausahaan diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki yang salah satunya adalah melalui program life skills responsif gender. Tujuan penyelenggaraan pemberdayaan perempuan melalui life skills responsif gender adalah membuat perempuan menjadi berdaya atau mempunyai daya dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam program life skills yang menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, keberadaan dan potensi perempuan dan laki-laki, baik yang berkaitan dengan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam kegiatan belajar dan usaha. Dengan penyelenggaraan program pemberdayaan perempuan samin maka diharapkan kualitas hidup mereka menjedi lebih terangkat.

LEBIH JAUH TENTANG KECAKAPAN HIDUP ( Life Skill ) Penulis : Nuril Huda, SP

Pendidikan kecakapan hidup, atau yang biasa disebut life skills, mulai populer dalam khasanah pendidikan luar sekolah (PLS ) atau pendidikan non formal (PNF) pada awal tahun 2000-an. Kepopuleran pendidikan kecakapan menjadi demikian excessive terutama semenjak life skills digunakan sebagai salah satu varian Program pendidikan non formal di bawah koordinasi Ditjen PNF Depdiknas. Untuk menggalakkan penyelenggaraan program life skills itu, kantor Ditjen PLS meluncurkan block grant dan voucer penyelenggaraan pendidikan life skills bagi berbagai satuan penyelenggara pendidikan non formal yang salah satunya adalah lembaga SKB ( Sanggar Kegiatan Belajar ) ditingkat kabupaten/kota.
Meskipun telah disadari bahwa secara teoritik dan konseptual pendidikan life skills mencakup pengertian pendidikan yang sangat luas, namun dalam praktek di masyarakat, pendidikan life skills telah tereduksi menjadi sekedar pendidikan ketrampilan vokasional atau kejuruan untuk maksud-maksud memperoleh penghasilan atau diarahkan bisa berusaha secara mandiri. Dengan reduksi makna yang demikian “dangkal” maka tidak mengherankan jika program pendidikan life skills yang banyak dipraktekkan di lapangan adalah pendidikan keterampilan vokasional, yang diharapka mampu sesegera mungkin bisa digunakan oleh peserta didik untuk mencari penghasilan.
Pemaknaan dan positioning pendidikan life skills yang seperti ini tidaklah keliru, mengingat memang masalah ekonomi untuk pemerolehan penghasilan (income generating) inilah yang menjadi masalah mendesak bagi warga belajar pendidikan luar sekolah (PLS), khususnya pada khalayak sasaran masyarakat kelas bawah, kaum yang terpinggirkan, dan para penganggur.
Pendidikan life skills adalah salah satu varian PLS yang bersifat siap terap dan siap petik hasil. Dalam khasanah kajian keilmuan PLS, salah satu ciri program PLS adalah quick yielding (cepat menghasilkan atau cepat dapat dipanen), seperti halnya terjadi pada kursus potong rambut, kursus menjahit, kursus memasak kue; yang dengan hasil belajar tersebut peserta didik bisa segera bekerja sesuai dengan pengalaman belajar yang didapat selama mengikuti program, pendidikan yang secara instant mampu menghasilkan ketrampilan sebagai bekal untuk bekerja sehingga peserta didik dapat memperoleh penghasilan dari hasil kerjanya.
Program life skill memang dirancang dengan pendidikan yang singkat, kemudian langsung bisa bekerja, dan sesegera itu pula peserta didik dapat memperoleh penghasilan dari hasil belajarnya. Namun yang perlu disadari bahwa pendidikan kecakapan hidup tidaklah sekedar pendidikan yang bersifat "langsung bekerja dan dapat duit" seperti itu. Ditjen PLSP (2003) merumuskan bahwa secara teoritis pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup secara mandiri.
Mampu hidup mandiri tidak saja dimaknai dari aspek ekonomi semata, melainkan juga perlu dimaknai secara politis, sosial, psikologis, hukum, dan moral. Oleh karena itu cakupan isi pendidikan life skills harus terdiri terdiri atas kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) atau kecakapan hidup pribadi (personal skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan berpikir (thinking skill), kecakapan academies (academic skill), dan kecakapan kejuruan (vocational skill), sebagaimana konsepsi WHO.
Pada dasarnya pendidikan life skills bertujuan mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang bersangkutan bisa mandiri menolong dirinya sendiri (tidak bergantung pada orang lain), mampu bersikap secara tepat dalam berbagai situasi lingkungan, mampu berpikir logis dan formal, mampu berperan penuh dalam sistem sosial kemasyarakatan, serta mampu terus berkembang seiring dengan perkembangan lingkungan strategis yang melingkupinya.
Segenap cakupan isi teoritik pendidikan life skills itu suatu saat dahulu pernah disebut sebagai bagian dari "pendidikan dasar" (basic education). Pendidikan dasar adalah pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan seseorang sehingga mampu hidup secara layak dan terus berkembang sebagai sosok pribadi dan sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan secara transenden sebagai makluk Tuhan yang beriman dan bertakwa. Berdasarkan makna yang demikian maka isi pendidikan dasar adalah: kemampuan berbicara dan berkomunikasi (verbal and communication skills), kemampuan berhitung dan matematika (mathematical and number skills), dan kemampuan ketrampilan hidup (coping or life-skills). Di dalam coping or life-skills masih terdapat sub-sub kemampuan.
Adapun sub-sub kemampuan ketrampilan hidup (coping or life-skills) itu terdiri atas kemampuan manajemen domestik kerumahtanggaan (domistic management), pengetahuan tentang pemerintahan dan pelayanan sosial (governmental and social service), pengetahuan tentang dunia kerja dan pekerjaan (work related knowledge), kemampuan tentang kesehatan, gizi dan kehidupan berkeluarga (health and family relationship), dan pengetahuan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (community and citizenship related knowledge).
Penguasaan ketrampilan vokasional saja belum cukup untuk mampu menghadirkan sosok manusia yang mandiri. Selanjutnya yang bersangkutan masih perlu dikembangkan dan mengembangkan diri lagi sehingga mencapai derajad standar isi pendidikan dasar yang sesuai dengan konteks di mana dan sebagai apa dia hidup. Pendidikan kecakapan hidup harus ditindak lanjuti dan dikembangkan menuju terpenuhinya derajad pendidikan dasar, dan lebih dikembangkan lagi sebagai program pendidikan berkelanjutan menuju pewujudan manusia Indonesia seutuhnya. Pembentukan manusia utuh mensyaratkan sosok pribadi sebagai belajar sepanjang hayat.
Untuk mendukung tercapainya manusia seutuhnya. Cropley (1977:49) mengidentifikasi ciri-ciri manusia yang menjadi pelajar sepanjang hayat adalah: (1) sadar bahwa dirinya harus belajar sepanjang hayat, (2) memiliki pandangan bahwa belajar hal-hal yang baru merupakan cara logis untuk mengatasi masalah, (3) bersemangat tinggi untuk belajar pada semua level, (4) menyambut baik perubahan, dan (5) percaya bahwa tantangan sepanjang hayatnya adalah peluang untuk belajar hal baru. Dalam kaitan ini para penyelenggara pendidikan life skills perlu sekali memahami hal-hal seperti itu, sehingga strategi pembelajarannya akan ditujukan untuk mencapai hal tersebut, disamping tujuan khusus setiap program vokasional.
Bank Dunia menghimbau pemerintah di seluruh dunia agar mengupayakan tercapainya universal basic education dan melengkapinya berupa peluang-peluang untuk life-long learning bagi warga negaranya (World Bank, 1998, Vol. 9 No. 3). Meskipun secara formal Indonesia menganut pendidikan sepanjang hayat, namun secara operasional bagaimana para perencana dan pelaksana pendidikan ikut membentuk sikap pelajar sepanjang hayat rasanya belum ada (adanya masih sebatas pada materi yang disampaikan lewat diklat dan rapat-rapat).
Oleh sebab itu penjabaran tentang cara-cara membentuk pelajar sepanjang hayat masih perlu dilakukan baik di sekolah, pada pendidikan non formal, maupun dalam keluarga.
Uraian di atas penting untuk diketahui oleh para perancang, penyelenggara, dan tutor pendidikan life skills agar sejak dini dapat mengantisipasi kemungkinan pengembangan program life skills sebagai pintu masuk bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan pengembangan program pendidikan berkelanjutan.
Perancangan pendidikan life skills adalah bagian awal dari upaya darurat pewujudan manusia Indonesia seutuhnya melalui fasilitasi belajar sepanjang hayat versi pendidikan luar sekolah. Pendidikan life skills tidak sekedar mengajari peserta didik untuk mencari makan sesaat seperti ayam yang sedang berceker, melainkan perlu berkembang sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar, sukur-sukur bisa berkembang lagi sebagai program pendidikan berkelanjutan yang mengedepankan pada kebutuhan khalayak yang menjadi sasaran program sebagai upaya nyata pengentasan kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan yang tampaknya semakin tahun semakin panjang barisannya, dengan konsep dan penyelenggaraan yang matang dan benar diharapkan program life skill mampu memutus mata rantai kemiskinan yang selama ini selalu berkesinambungan. Semoga

Kamis, 03 Juni 2010

PERAN SEORANG GURU..



Kembang jagung mulai mekar, musim tanam ternyata telah sebulan lebih, kuncup kuncup buah terlihat di ketiak pelepahnya.

Lebah, Kumbang, Kupu kupu beterbangan disekelilingnya, hinggap sebentar , mengabil sari madu dan terbang ke sarangnya.

Tetapi Kupu-kupu lebih sibuk dengan dirinya, di ujung daun muda, ia menelorkan sekelompok generasi yang dijauhi pada saat mula-mula, tetapi akhirnya dicari oleh ajaibya metamorfosa.

Ekosistem yang sempit, tampak lengang tertangkap indera kita, tetapi ternyata sarat peristiwa, oknum dan penjelasan dibaliknnya.

Disinilah peran seorang guru dibutuhkan, bahkan untuk hal-hal yang sepele dan dipandang sebelah mata. Tampak klise memang, tetapi itulah kenyataannya. Pikiran yang lemah dalam mengolah sketsa kejadian, harusnya diasah hingga mampu menterjemahkan semua.

Peran Seorang Guru


Seorang guru haruslah mampu mengasuh “alam pikiran anak” didik, dengan kata lain seorang guru mampu mengikat keinginan- keinginan liar dan “tumpul” dari peserta didik di dalam kelas, kemudian menuntunya secara wajar dan terarah.

Sebuah ilmu dapat tercerap dengan mudah melalui indera pendengaran dan penglihatan. Seorang guru diwajibkan untuk mengembangkan itu, melalui metode yang diadopsi dari lingkungan sekitar. Misalnya jika pengajaran diadakan di dalam kelas, maka seorang guru seharusnya tidak saja mampu mengolah posisi dan letak berdirinya di dalam kelas, agar mudah dilihat dan didengar oleh muridnya, tetapi juga bisa memposisikan semua obyek yang ada di kelas, baik letak bangku kursi maupun posisi papan tulis, dan sebagainya, yang harus ditekankan, harus bisa memanfaatkan segala obyek yang ada untuk keperluan pengajaran yang maksimal.

Selasa, 01 Juni 2010

AIR DAN BLORAKU...

Suasana kemarau Blaora selalu khas..
Panas terik hampir sepanjang matahari tampak dan kekurangan air.
Isu kemarau Blora selalu dieksploitasi oleh politisi lokal.
Ajang Pemilukada adalah ajang dimana calon Bupati dan wakil Bupati menjual "jasa" bagaimana mengatasi masalah ini..

ada yang menawarkan konsep membuat persiapan air sebanyak mjungkin.. contohnya pembuatan embung-embung. ada ide untuk memperbanyak kanal-kanal Bengawan Solo. Dan yang terlihat Bombastik meski mungkin saja suatu hari menjadi kenyataan ( semoga...) adalah penyulingan air laut menjadi tawar. Digambarkan program terakhir harus bekerjasama dengan Kabupaten Rembang sebagai tetangga terdekat yang memiliki Laut. Pipa-pipa besar dari Rembang ke Blora akan menjadi panorama.

Tentu saja kita tidak boleh apatis terhadap gagasan bagaimana air tidak kekurangan di Blora.
bagaimana mengoptimalkan sungai Bengawan Solo yang kata Gesang "Mengalir sampai jauh" karena di sisi lain secara ekonomis ketika kemarau, berapa kerugian yang didapt sungguhlah besar. Sawah-sawah tidak bisa produksi, banyak tenaga, waktu dan harta yang terbuang hanya untuk mencari air..
Meski tidak kerja asal kemarau bisa cari air adalah ciri menantu yang baik.. ini selorohan khas Blora.. Selorohan ini merupakan ungkapan hiperbolis bahwa cari air lebih sulit daripada cari pekerjaan.
di banyak desa, peternak sapi mengenal istilah sapi minum sapi, sapi makan sapi. dalam bahasa yang lebih gaul terkenal dengan istilah Two in One.

jadi jika anda punya dua ekor sapi maka seekor harus dijual untuk mencukupi kebutuhan makan minum sapi satu lainnya selama kemarau. Tidak ada rumput hijau lagi, Tidak ada air di sungai kecuali endapan kering kerontang..
Apa yang bisa perbuat??.. Hanya mengandalkan pemerintah Kabupaten?.. memang ada bantuan air bersih dengan tangki-tangki yang kadang datang. Namun tentu saja bersifat tanggap darurat dan parsial. Dan jangan lupa pemerintah terkendala dengan besaran kebutuhan dana. Sungguh tidak masuk akal pemerintah daerah meski dibantu oleh pemerintah provinsi akan mampu menyediakan kebutuhan air segenap warga setiap hari setiap saat.
Jika dipaksakan maka uang pembangunan di sektor lainnya akan timpang..

Secara sederhana mari bahu membahu dengan pemerintah. Misalnya dengan kita membuat sumur-sumur resapan secara mandiri. Hemat pemakaian air. dan perbanyak tanam pohon karna hutan blora telah mengenaskan hampir semakin gundul.
Karna bagaimanapun pohon sangat berpengaruh besar terhadap penyimpanan air di bumi ini, sebagaimana fungsi pohon dalam ekologi alam dengan sistem peresapan airnya.
Mungkin begitu sederhana namun jika kita melakukan secara massal maka manfaatnya akan nampak.
Sehingga jangan ada lagi istilah "Sapi Two In One" di Blora yang tercinta ini..
Semoga harapan ini menjadi kenyataan...

POTRET BUTA AKSARA...

Enam orang itu tergabung dalam kelompok yang disebut Mawar. Lima orang duduk menyimak dengan antusias terhadap seorang yang berdiri. Bukan hanya menyimak malahan namun seolah terpesona lebih seperti memuja seakan muncul dewa.
sesekali mereka berguman bersahutan, tertawa bersama bahkan mbakyu Parti melelehkan air mata. Entah tangis keharuan atau penyesalan terhadap nasib diri.
Itulah kesan pada hari pertama kelompok keaksaraan "mawar" beraktifitas. kelompok tadi adalah kelompok belajar membaca untuk penuntasan buta aksara. lima orang sebagai warga belajar. Mbakyu Parti yang mudah terharu itu, lalu Pakdhe Karwo yang bersuara lantang namun polos. ada lek Kusrin yang sok pandai, dua tersisa adalah bersaudara yaitu lek Surat dan adiknya Sriti. seorang yang dianggap dewa adalah sang tutor yang ditunjuk dari Diknas Pendidikan Nasional Blora. mereka memanggilnya dengan sebutan Bu Rini.
" Tak ada kata terlambat untuk belajar," berulang kali Bu Rini memberi suntikan motivasi.
" Gak iso moco, sing penting ngerti duwit kan gak popo, Bu.. " timpal pakdhe Karwo dengan suara gelegarnya.
tak pelak sahutan itu bergayung dengan tawa lepas segenap anggota kelompok belajar tersebut.
Dengan sabar sang tutor menanggapi timpalan tersebut. panjang lebar beliau menggaris dasari pentingnya bisa membaca. bahkan beliau menyitir ayat suci tepatnya Al- Iqro. Bacalah.. bacalah..bacalah, demikian malaikat mengajak Nabi kita pertama kali.
Waktu berjalan meski awalnya tersendat oleh kelambatan daya ingat peserta didik namun karena tekat yang besar lambat laun peserta didik mulai bisa membaca meski masih terbata..
" Ba.. ba... bapak be...be.. beli be...be... bebek,"
Lek Kusrin tampil gemilang melantunkan lafal " Bapak Beli Bebek"
" Endi... wong Bapakmu wis mati ngono kok..." (mana, bapakmu kan sudah meninggal). Lek Surat menyahut.
" Ha...Ha....Ha....!" tawa Pakdhe Karwo lepas....
" Ki...ki.. kita ja...jangan gu...gu.. guyon saja,"
ujar Mbakyu Parti yang kadang gagap termakan rasa haru birunya..

Itulah suasana kelompok belajar KF (Keaksaraan Fungsional) "Mawar" di desa Mbelik, yang merupakan salah satu dari sekian kelompok program penuntasan buta aksara yang diadakan oleh Disdiknas Blora.
Ketika dunia makin hiruk pikuk dengan internet dengan kemajuan teknologi yang begitu pesatnya, menjauh di sebuah desa di Blora mereka gaduh belajar membaca.
Usia tua mereka tak halangi untuk maju dan terus belajar.
Untunglah Dinas Pendidikan Nasional Blora, dalam hal ini Pendidikan Non Formal menaruh empati dan simpati yang tinggi terhadap masalah Keaksaraan Fungsional.
Kalau tidak, mungkin selama hidup Pakdhe Karwo hanya tahu uang tahu tanpa tahu arti tulisan pada uang kertas.


Suara eja gagap mereka jika didengar dengan nurani bagai suara bacaan ayat suci di pagi yang hening..

internet di SKB Bloraku...

Sekarang ini internet yang merupakan hasil dari perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang begitu luar biasa pesatnya telah mampu menghilangkan batasan wilayah ataupun waktu dalam pencarian sebuah informasi. Orang begitu mudahnya meng-akses segala informasi yang diinginkan melalui internet, bahkan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih internet bisa dilakukan melalui media hp yang kini semua orang hampir memilikinya.
Internet telah menjadi pusat informasi dan mengubah dunia menjadi satu tanpa adanya lagi batasan-batasan ideologi, negara dan agama. Setiap orang bisa mengakses informasi atau pengetahuan apa saja yang ingin diketahuinya, bahkan dengan internet orang bisa belajar sendiri untuk menentukan pelajaran yang ingin didapatkan tanpa harus ada kurikulum yang terkadang mengekang kebebasan untuk belajar atau bisa dikatakan mampu menciptakan pendidikan sepanjang hayat atau long life education. 
Dalam hal ini pendidikan nonformal SKB Blora berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakat. seperti dengan adanya lab komputer yang menggunakan sarana internet yang ternyata sangat diminati para pendidik dan warga belajarnya untuk menggunakan fasilitas tersebut. 
Karena sebagai pendidikan nonformalpun SKB Blora harus mampu melihat dan merespon terhadap perkembangan teknologi ini sebagai sebuah sarana ataupun fasilitator untuk mewujudkan tujuan pendidikan non formal yaitu memberikan pendidikan yang berbasis kebebasan dan aktualisasi diri atau pendidikan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat yang tertuang dalam motonya yaitu long life education atau belajar sepanjang hayat.
Dan ternyata dengan adanya internet di SKB Blora mempunyai berbagai manfaat  bagi ptk pnf yaitu :
    1. Memberikan informasi tentang PTK-PNF BLORA.
    2. Menjadikannya sebagai sarana diskusi pada pendidik untuk bisa saling tukar ilmu sehingga menunjang keberhasilan pendidikan.
    3. Menjadikannya sebagai wadah untuk para pendidik mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam bentuk artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan.
    4. Memberikan kontribusi positif untuk membangun dan mengembangkan pendidikan nonformal di kabupaten Blora pada khususnya dan pengembangan dunia pendidikan pada umumnya.

BERGURU PADA PENGRAJIN BARONGAN..

Siang itu agak terasa teriknya matahari.. kususuri jalan yang sudah semakin rusak dengan sepeda motor winku menuju sebuah desa Jepangrejo..
Jarak dari pusat kota Blora, desa ini sekitar 15 kilometer kearah Selatan.. Setelah tampak nama Desa Jepangrejo di sebuah tembok pembatas yang mungkin berfungsi sebagai gapura.. aku mencoba mencari tahu tentang seorang yang katanya pandai membuat kerajinan Barongan.. akhirnya setelah beberapa kali bertanya kepada warga yang kutemui di jalan. Aku menuju sebuah rumah yang agak terpencil dengan melewati jembatan sempit yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor..
Rumah yang terlihat sederhana tampak tak terlihat ada bedanya dengan rumah-rumah lainnya di sebelah kanan kirinya. Rumah itupun sepi tak nampak kegiatan apapun jauh beda dengan perkiraanku.
yang semula bayanganku akan menuju sebuah home industri dengan berbagai kerajinan sebagai produknya atau paling tidak ada kegiatan pembuatan kerajinan tersebut.

Kulangkahkan kaki menuju rumah tersebut yang hanya berlantaikan tanah, tampak meja panjang lengkap dengan kursi panjang pula yang terbuat dari kayu jati diruang tamunya.. kuketuk pintu dan tampak keluar seorang pemuda dari dalam rumah..

Mas sarjono namanya... begitu aku dipersilahkan masuk, kulihat di dalam rumah tersebut terpajang berbagai macam bentuk wayang yang diatur sedemikian rupa seadanya di dinding-dinding ruangan.. dan tak luput dari pandanganku juga di pajang di dinding tampak beberapa topeng atau pentol kalau orang jawa bilang, berikut dengan barongan yang kucari..

Barongan adalah seni kesenian asli Blora yang terdiri dari beberapa pemain yaitu seorang pembawa barongan ( semacam barong, atau topeng kepala bentuk macan, dengan kain juga motif loreng seperti macan sebagai penutup pemainnya). Dan beberapa pemain lainnya menggunakan topeng di wajah biasa dinamakan bujang ganong, dan pemain lainnya sebagai penabuh musik yaitu dua buah kenong dan gendang. Barongan hampir mirip dengan barongsai yakni bentuk kesenian dari cina, namun bentuk kepala agak berbeda, kalau barongan terbuat dari kayu mirip reog ponorogo namun tanpa bulu-bulu meraknya.

Tujuan awalku memang sedang mencari bentuk kerajinan-kerajinan lokal Blora yang mungkin bisa aku ajarkan kepada peserta didikku di Paket B, untuk mengembangkan ketrampilan anak didikku sesuai dengan pendidikan berbasis masyarakat, dengan meningkatkan peran serta masyarakat terhadap dunia pendidikan dalam hal ini PNF. Selain itu aku ingin mengangkat berbagai kerajinan lokal yang mungkin nanti bisa dikembangkan oleh anak didikku dan lebih mengenalkan kerajinan mereka ke dunia luar.

Setelah memperkenalkan diri dan kucoba mengutarakan maksud dan tujuanku, mas sarjono mulai bercerita tentang desa Jepangrejo dan seniman-seniman yang ada di desanya ini.. dari penuturan mas sarjono ternyata selain dia masih banyak lagi seniman atau pengrajin yang ada di Desa Jepangrejo.
Diceritakannya pula ada dua dalang wayang kulit yang cukup laris dan wayang-wayang yang digunakan untuk pentas ternyata adalah wayang buatan sendiri. Selain itu ada seniman pembuat wayang golek yang namun sayang tidak mendapat perhatian sehingga tidak dikenal.
Dan anehnya seperti halnya mas sarjonopun tidak ada yang pernah belajar khusus atau berguru, mereka belajar secara otodidak..
Mas Sarjono menceritakan asal mulanya dia menggeluti pekerjaan sebagai pengrajin barongan.. berangkat dari hoby yang memang suka nonton pagelaran wayang dan kesenian Barongan, dia berusaha mengotak atik sendiri bagaimana caranya dia bisa membuat kerajinan wayang ataupun barongan. Diapun bercerita katanya dari kesalahan selama membuat kerajinan itu dia malah semakin pandai untuk bagaimana cara memperbaiki kesalahan sehingga bisa membuat yang lebih baik dan selalu meningkatkan mutu dari hasil kerajinannya. 
 
Dan yang membuatku semakin semangat untuk terus menimba ilmu darinya, dia dalam membuat karya-karyanya dia menggunak bahan dan alat seadanya yang hampir semua orang bisa mendapatkan. seperti dalam membuat wayang dia menggunakan mika yang biasa dijual di toko bangunan sehingga sangat sesuai bila diterapkan ilmunya ini kepada warga belajar SKB yang memang rata-rata dari keluarga tidak mampu.
Ternyata hasil karya dari mas Sarjono sangat diminati masyarakat karna selain murah hasilnyapun tak kalah dengan wayang kulit asli. banyak pesanan dari tetangga-tetangganya.
 
Setelah cukup lama aku mengobrol dengannya akupun berpamitan pulang...
Kulangkahkan kakiku dengan mantap, penuh dengan angan dan rencana bagi anak didikku..
Akupun begitu bangga ternyata Bloraku yang kucintai begitu banyak pemuda-pemuda yang berbakat dan layak untuk diperjuangkan dengan segala kelebihannya..
Andai saja pemerintah mampu lebih memperhatikan mereka, mampu memberikan solusi pemasaran mereka, memberikan tempat kepada mereka yang kreatif, pasti Bloraku semakin semarak dan maju dengan banyaknya home industri, sehingga para pemuda blora tidak harus keluar dari Blora untuk mencari pekerjaan. dan tentunya semakin mengangkat nama Blora itu sendiri di dunia luar.  
 

POTRET KECIL KEHIDUPAN....


Siang itu tampak seorang anak kecil dengan seragam lusuh berjalan agak tergesa menuju rumahnya setelah pulang dari sekolah kesetaraan Paket B…

Sesampai di sebuah rumah yang sebagian besar hanya berdinding gedek (anyaman bambu) dia duduk di balai bambu di teras untukmelepas sepatu bututnya sambil berucap agak keras..

“ assalamu alaikum “..

“ waalaikum salam “ Terdengar suara dari dalam rumah menyahut, terlihat seorang nenek keluar dari rumah dengan diikuti bocah kecil sekitar umur 5 tahunan..

“ O… kowe yan, tak kiro ono tamu sopo..” begitu nenek itu menambahi..

” ma’e nengdi mbah? “ tanya anak itu yang memang bernama karyanto dan biasa dipanggil yanto..

sambil menenteng sepatu bututnya yang baru dilepaskannya, dia menuju kamar untuk melepas semua atribut sekolahnya dan ganti kaos oblong kumal gambar partai demokrat dan SBY.. pemberian tim sukses partai kemarin waktu Pilpres..

” makmu neng omahe bu endang, kon ngumbahi.. pakmu mau yo dikon ngewangi ngedhos neng sawahe lek Ji.” terdengar neneknya memberi penjelasan..

” Kono ndang mangan disik, dek mau entuk uduk soko dhe basir, jare sesok ameh mantu..”
Tanpa pikir panjang karyanto menuju sebuah meja yang terletak di belakang bivet (lemari agak pendek tempat piring dan gelas) yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang belakang..

Begitu dilihatnya di atas meja tersebut tampak kendi ( tempat air yang terbuat dari tanah liat ), dia langsung menyambar dan menenggaknya tuk lepaskan dahaga. Dia buka kardus putih yang berisi nasi uduk dan dengan lahap dia menikmati makanan yang baginya jarang sekali dia rasakan..

Setelah menikmati makan dia mendekati adik kecilnya yang tengah asyik bermain mobil2an dari lempung (tanah liat) yang dia buatkan kemarin.

” Dik.. aku duwe dolanan apik, sik yo tak jupukke..”

Bergegas dia menuju kamar mengambil tas dan mengeluarkan tas kresek dari dalam tasnya.. kemudian dia mendekati adiknya yang dari tadi terus mengikutinya karna penasaran..
” Dolanan opo kak?.” tanya adiknya yang ternyata bernama Panji penasaran..
Sambil menggandeng tangan panji dia duduk di lantai teras dan membuka tas kresek tersebut,
”Hayo, mbedekmu opo iki?.. tampak dia mengeluarkan lembaran tipis dengan warna cat yang masih agak lengket karena belum kering benar..
” Wayang... Wayang...mbah... wayang ” teriak adik kecilnya sambil berlari membawa lembaran tipis tersebut menuju mbah ngasiyem yang lagi nyisik sujen..

Benar memang lembaran tipis tersebur adalah mika yang dicat warna warni dan dibuat menjadi wayang oleh karyanto...
” soko opo yan iki kok apik? Kowe kok pinter nggawe ngene barang..” tanya neneknya sambil memegangi wayang yang dibawa oleh panji adiknya.
” Soko mika mbah iki.. mau pak guru neng sekolahan marai gawe wayang soko mika, jare bahane murah tur yo gampang goleke.. apik yo mbah.. aku ameh gawe kok mbah sing akeh, ngko meh tak dol karo bocah2 cilik, opomeneh dedy, anake pak lurah mesti seneng lan mesti gelem tuku..” terang karyanto dengan semangat dan penuh rencana...
Iyo yan.. ngko sopo kuwi?.. anake bu supi.. Andig mesti yo seneng..” kata mbah ngasiyem mendukung dan memberi semangat..

Setelah sejenak dia ngobrol-ngobrol dengan neneknya dan bermain dengan adiknya, Panji.. dia menuju kandang sapi belakang rumahnya untuk mengambil arit (sabit) berikut sak (karung plastik bekas urea).
Yach.... seperti biasa dia menjalani rutinitas kegiatan tiap sorenya yaitu mencari rumput buat makan sapi pedet yang dia peroleh dari upah memelihara sapi babonnya pak Sarjan Kepala Sekolah SD dekat rumahnya.

Kemudian dia mengambil topi dari dalam kamar dan berpamitan kepada mbahnya..
” mbah aku tak budal ngarit yo..”
” yo.., ati ati yo.. sapine wis mbok ombeni..?” sahut mbahnya.
“ wis mbah.” Jawab karyanto yang tampak tanpa beban dia menjalani kehidupan sehari-harinya yang bagi kebanyakan orang terasa berat tuk seumur dia. Diapun berlalu tanpa lupa mengucap “ Assalamu alaikum” bersamaan menghilangnya dia dari pandangan.. hanya terdengar siulan dari mulutnya yang semakin lama kian samar terdengar menandakan dia telah jauh meninggalkan rumahnya.
" wa alaikum salam" terdengar lirih mbah ngasiyem menjawab salam, sambil mengangkat bah, tampak terbersit rasa bangga di hatinya melihat cucunya yang selalu menjalani hari-harinya dengan semangat..

Begitulah sekilas cerita yang kulihat dari sebuah potret kehidupan dari seorang anak sekolah kesetaraan paket B yang tampak begitu bersahaja.. dalam kesederhanaannya..
Dalam keluarga yang sederhana.
Karyanto.. anak pertama dari keluarga buruh tani dan buruh cuci.. yang mempunyai adik yang baru berumur 5 tahun menjalani hidupnya dengan penuh arti... tiada kata putus asa untuk berusaha.. tiada kata mengeluh dalam keadaannya.. ataupun iri dengan kehidupan anak-anak sebayanya yang hidup dalam kemewahan..
menerima dan mensyukuri segala yang ada begitu tertanam dalam keluarganya..

Satu tujuan pasti dari seorang karyanto hanya berangan hari esoknya akan lebih baik dari sekarang... dengan menuntut ilmu berharap akan menjadikannya orang yang lebih berguna sehingga bisa membantu orang tua dan membahagiakan orangtuanya..

Ternyata masih banyak anak-anak bangsa di negeri ini yang begitu polos dan layak diperjuangkan..
Ternyata begitu banyak anak bangsa yang tak mampu sekolah karena ketidaktersediaan biaya dari orang tua mereka..

Semoga PNF menjadi tempat yang mampu wujudkan impian mereka...
Mampu menjembatani keinginan mereka yang ingin merubah nasib menjadi lebih baik..
Membekali ilmu yang bermanfaat bagi mereka..
AMIIEN...