Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor determinan bagi keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, baik perempuan maupun laki-laki harus dapat menggerakkan dan membuat perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik atau sebagai agent of social change. Di samping itu, secara khusus perempuan perlu memiliki kemampuan untuk turut mengambil keputusan, yang didukung oleh kemauan dan keberanian dengan menggunakan kesempatan untuk menjadi teman seperjuangan laki-laki.
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam budaya kita, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya.
Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik diwilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi,dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda. Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perludipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut.
Determinise biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja. Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah. Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan sejarah manusia pada masa lalu telah menciptakan mithos – mithos hubungan antara pria dan wanita yang pada akhirnya menempatkan wanita pada posisi terbelakang atau underprivileged. Bebarapa pakar mencoba menggali akar histories dan akar structural dari masalah ini ( highlights of the Philippine Development Plan for Women, 1989-1992), yaitu: (1) adanya dikotomi maskulin/feminine peranan manusia sebagai akibat dari determinisme biologis, seringkali mengakibatkan proses marjinalisasi wanita, (2) adanya dikotomi peran publik / peran domestik yang berakar dari sindroma bahwa “peran wanita adalah di rumah”, yang pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi reproduktif antara pria dan wanita, (3) adanya konsep “beban kerja ganda” (double burben) yang melestarikan wawasan bahwa tugas wanita terutama adalah di rumah sebagai ibi rumah tangga, cenderung menghalangi proses aktualisasi potensi wanita secara utuh, (4) adanya sindroma subordinasi dan peran marjinal wanita dalam masyarakat adalah sekunder.
Ketertinggalan wanita merupakan konsekuensi dari adanya stratifikasi sosial dan fungsionalisasi masing – masing strata sosial. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi kelompok yang dirugikan oleh sistem kehidupan yang berkembang di masyarakat. Perbaikan kedudukan wanita menuntut tindakan – tindakan konkret pada tingkat nasional, lokal dan keluarga di samping perubahan sikap dan peran pria dan wanita. Kemajuan wanita bukanlah sekedar permasalahan sosial, tetapi harus dilihat sebagai komponen yang esensial dari semua dimensi pembangunan. Oleh sebab itu untuk mengubah pandangan bahwa wanita adalah sekedar “konco wingking” dan “penerus keturunan” diperlukan suatu program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya perempuan.
Tujuan Pembangunan menurut Seers (Sudjana, 2000) menitikberatkan pada tiga hal, yaitu: mengurangi kemiskinan, menanggulangi pengangguran, dan mengatasi ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Banyak ketidakadilan terjadi di masyarakat, salah satunya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Pada dasarnya tujuan pembangunan itu adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Hal tersebut, dapat dilakukan melalui upaya pemberdayaan, yaitu dengan meningkatkan kualitas manusianya, sehingga mereka mampu mengatasi persoalan yang mereka hadapi, khususnya kaum perempuan.
Pemberdayaan bertujuan untuk memberikan daya/kekuatan dari ketidakadilan. Daya atau kekuatan yang dimaksud di sini bukan bentuk penguasaan atas orang lain tetapi suatu rasa kekuatan batin dan kepercayaan untuk menghadapi hidup, hak untuk menetapkan pilihan-pilihan sendiri dalam hidup, kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses sosial yang mempengaruhi kehidupannya. Selanjutnya dengan daya/kekuatan tersebut, diharapkan mereka mampu mengatasi persoalan yang dihadapi. Ada empat hal yang dilakukan dalam pemberdayaan, yaitu: (1) Self Awareness, membantu menemukan sesuatu yang berarti baginya, (2) Vision Crafting, membantu menumbuhkan potensi yang dimiliki, (3) Mental Clearing, membantu menyehatkan dan membentuk kembali keyakinan dalam menghadapi rintangan yang akan datang, dan (4) Manifestation, membantu memahami keterampilan yang mendatangkan keuntungan bagi seseorang (Gershon & Straub,2004).
Salah satu cara upaya pemberdayaan perempuan adalah melalui pendekatan pendidikan. Pendidikan nasional yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (ps. 3 UU No. 20 th. 2003). Pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Salah satu program pendidikan yang sekarang mendapatkan perhatian adalah Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills), yaitu program pendidikan yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan vokasional kepada peserta didik yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja atau usaha mandiri.
Di Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora masyarakat keturunan Samin hidup selayaknya warga biasa. Mereka bercocok tanam cabai, jagung, kacang tanah, padi dan lain sebagainya karena bagi masyarakat samin pekerjaan pokok adalah bertani, orang-orang Sikep ( samin ) tidak antisekolah. memang, ketika Belanda masih bercokol mereka menolak istitusi sekolah. Sekolah dianggap menciptakan bendoro (kaum elitis) dan bukan lagi rakyat (kawulo). Mereka beranggapan bahawa "Kalau sudah sekolah akan menjadi antek Belanda," .
Ketika Belanda pergi, ajaran lisan mereka masih tetap diturunkan. "Ana tulis tanpa papan, ana papan sakjeroning tulis," yaitu menggambarkan ajaran itu ditularkan lewat ucapan disertai contoh keseharian. Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Sikep adalah kesederhanaan, dalam manajemen keluarga, orang-orang Samin lebih teliti dibandingkan dengan non-Samin. Mereka tidak membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, selain itu masyarakat samin juga terkenal dengan kejujuran dan kerja keras yang merupakan nilai positif yang masih dipegang teguh oleh keturunan Samin. Walaupun kalau dirunut ke belakang, sulit diketahui bagaimana wujud penentangan terhadap Belanda itu lantas mengalami metamorfosa menjadi nilai-nilai positif yang masih berlaku hingga kini. Kadang dipegang dan diterapkan secara kaku, terlalu idealistis, bagai tak berkompromi dengan pandangan masa kini. Faktor itu yang masih sering disalahartikan oleh orang-orang yang tidak senang.
Dalam tata kehidupan masyarakat samin, perempuan hanya dipandang sebagai konco wingking yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap rumah tangga. Kodrat perempuan sebagai makhluk yang lemah yang memiliki tugas untuk melahirkan, mengurusi domestik rumah tangga dan membesarkan anak, sangat dipegang teguh oleh masyarakat samin. Hal ini mengakibatkan kondisi sosial perempuan samin menjadi terbelakang dan tidak pernah tahu yang namanya pendidikan, karena menurut kepercayaan mereka pendidikan yang terpenting adalah pendidikan di dalam keluarga.
Melihat kondisi tersebut perlu dilaksanakan penanganan pemberdayaan perempuan masyarakat samin yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki, sehingga upaya pendidikan kecakapan hidup perempuan yang dilakukan tidak berbenturan dengan keluarga dan kondisi sosial masyarakat khususnya adat istiadat kaum samin,
Pengembangan di bidang pendidikan dan kewirausahaan diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki yang salah satunya adalah melalui program life skills responsif gender. Tujuan penyelenggaraan pemberdayaan perempuan melalui life skills responsif gender adalah membuat perempuan menjadi berdaya atau mempunyai daya dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam program life skills yang menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, keberadaan dan potensi perempuan dan laki-laki, baik yang berkaitan dengan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam kegiatan belajar dan usaha. Dengan penyelenggaraan program pemberdayaan perempuan samin maka diharapkan kualitas hidup mereka menjedi lebih terangkat.